Sebetulnya sejak sebelum menikah di kepala ini sudah ada niat untuk membahas masalah budaya Bali di mata generasi kini. Ide itu masih terngiang hingga hari ini. Awalnya calon ibu mertua (camer) saya yang tahu banyak masalah berkaitan dengan Bali, mencoba mengetes pengetahuan saya. Hasilnya bisa ditebak. Yang ada cuma bengong. Karena memang selain cerita yang tak pernah didengar dan dibaca juga ujiannya pakai bahasa Dewa, bahasa Bali tingkat paling atas.
Kondisi makin memburuk karena calon menantu tak jua mengerti apa maksud calon ibu mertua. Namun kondisi itu dengan segera terpupus saat mengajak orang tua saya alias calon besan main ke rumah camer. Bapak saya yang kelahiran 1942 ternyata tahu banyak dan mampu menimpali pengetahuan calon mertua. Malah sempet bikin bengong semua akan kemiripan dan kebenaran ceritanya itu.
Terus, apa yang bisa dipetik dari cerita di atas? Tentu saja perbedaan pengetahuan orang tua dan anaknya walaupun sang anak sudah berusaha ikut mendampingi kemana pun beliau pergi. “Tetap saja yang namanya pengetahuan lahir dari pengalaman,” kata Bapak saya.
Balik ke hal-hal yang berkaitan dengan budaya Bali. Boleh jadi di mata generasi muda hari ini budaya Bali tak lagi menjadi satu bacaan wajib yang mutlak harus diketahui. Mungkin karena tuntutan keseharian yang kini cenderung mengajarkan si anak berbahasa Indonesia yang baik dan benar dibanding sopan santun berbahasa Bali. Ini bertujuan agar si anak tak kelabakan saat menerima pelajaran di sekolah dasar nantinya.
Hal ini berdampak juga pada hal-hal yang gampang dicerna seperti kepercayaan dan larangan pada anak-anak yang barangkali sudah sangat jarang diberikan. Contohnya saja seperti cerita yang sering muncul di Majalah ‘Sarad’ yang bertajuk ‘Kone’.
Kalau mau dipilih yang menggelitik seperti larangan membeli jarum di malam hari atau jangan menyapu halaman saat gelap. Larangan ini mungkin karena pada zaman dahulu belum ada penerangan yang memadai, sehingga bisa saja yang namanya jarum atau pun barang berharga yang jatuh di halaman menjadi tak terlihat lagi dan cenderung hilang.
Bagaimana kalau hari ini? Apakah lantas swalayan tak boleh menjual jarum saat malam hari, begitupun cleaning service-nya tak boleh membersihkan lantai ketika malam?
Satu kekurangan generasi muda Bali tentu pada akarnya yang tak sekuat umat lain, di mana sejak kecil sudah ditanamkan cara berdoa sesuai agama yang dianut. Sungguh jarang melihat nak Bali (umumnya beragama Hindu) usia sekolah dasar melakukan kewajiban sembahyang tiga kali sehari. Pula saat pembelajaran keseharian yang jarang sekali mendapatkan cerita maupun kisah berbau Bali.
Anak-anak kini lebih dimanja televisi yang siap menayangkan sejuta film jepang maupun tema hantu, yang menyebabkan seorang anak kecil asli Bali tak lagi takut pada yang namanya leak, rangda dan barong ketimbang pocong maupun kuntilanak yang merupakan adaptasi cerita dan kepercayaan dari agama lain.
Hal lain yang patut disorot adalah pemberian nama anak yang tak lagi menggunakan pakem Bali seperti Putu, Made, Nyoman, Ketut, maupun Ni Luh yang sudah mendapatkan banyak pengaruh dari luar (seperti komentar Wayang Cengblonk). Ada satu ponakan yang orang tuanya menganut agama Hindu, tapi menamakan anaknya tanpa embel-embel nama Bali dan mengganti dengan nama Fitria, satu nama yang mencerminkan arti bagi agama lain. Mungkin belom terpikirkan bagaimana caranya nanti sang anak menulis namanya dengan huruf aksara Bali.
Kenapa tidak pakai pakem di atas? Ada yang bilang malu kalau anak punya nama kampungan. “Ndeso,” kata Mas Tukul. Juga dianggap tidak menjual di mata internasional nanti. Serta berbagai macam alasan pembenaran lainnya.
Walaupun memang diakui bahwa tak sedikit pula generasi muda hari ini melek hal-hal berbau Bali, namun pada kenyataannya keberadaan mereka tak mampu menonjolkan apa yang ingin diungkapkan.
Adanya majalah atau tabloid Bali di tengah ratusan tabloid berbau teknologi otomotif maupun gosip menjadikan majalah Bali tersebut hanya digemari kalangan tertentu serta umat Hindu yang tinggal di luar Bali. Pemberian informasi menggunakan teknologi pun kalau cermat bisa menemukan beberapa situs di dunia maya yang memuat budaya Bali, semacam iloveblue.com.
Terus apakah generasi muda Bali lainnya patut disalahkan karena kemampuan mereka tak sebanding dengan generasi terdahulu? Karena seringkali terdengar keluhan di kalangan generasi tua, bahwa generasi muda hari ini tak seindah generasi mereka zaman dahulu.
Jangan. Mungkin patut diingat bahwa ketidakmampuan generasi hari ini adalah buah dari kisah yang diberikan generasi sebelumnya. Jadi kalau memang menginginkan generasi muda hari ini tahu lebih banyak masalah adat dan budaya Bali, tidak ada salahnya menanamkan cerita dan asal usul Bali pada keturunan nanti.
Jangan malu jika ada yang menganggap bahwa Bali tak akan laku di masa datang. Karena jika memang keasliannya tetap terjaga, rasanya tak ada yang mampu membendung nuansa Bali di mata Internasional.(by pandek baik)
Selasa, 22 Juni 2010
Bali di Mata Generasi Muda Hari ini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
betul bli itulah yang terjadi sampai sekarang,,menjadi masalah serius menurut saya
saya sependapat dengan kisah/cerita bali yang mulai jarang disampaikan oleh para tetua,padahal di dalamnya sarat dengan makna luhur.
Namun kalau nama bali itu kampungan, saya rasa itu aneh.
karena selama di bandung, justru banyak teman yang bukan org bali memakai nama dengan pakem bali.
Sebagai org yang tahu mengenai permasalahan tersebut, akan lebih baik kalau kita memulai dari diri sendiri untuk memperbaiki kekurangan2 yang disampaikan di atas, kemudian kalau bisa menyebarkannya ke lingkungan sekitar.
Jika memang perubahan itu tidak terbendung, akan lebih baik terjadi seperti itulah. saya rasa Bali tidak se'kaku itu.
terimakasih
Posting Komentar