Kelahiran anak pada suatu keluarga patut disyukuri karena anak merupakan titipan tuhan yang sangat berharga dan wajib bagi orang tua untuk menjaga serta memberikan pendidikan kepada anak.
Menurut Titib (dalam Suryanto, 2011), dalam bahasa Sanskerta ‘anak’ adalah “putra”. Kata “putra” itu sendiri pada mulanya berarti kecil atau yang disayang, kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak yang lahir dalam keluarga:
“Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena itu ia disebut Putra”
(Manawadharmashastra IX.138).
Dalam kutipan tersebut kita dapat memahami betapa pentingnya seorang anak atau putra dalam sebuah keluarga terutama bagi orang tuanya, karena anak selain sebagai penerus garis keturunan dan adat-istiadat yang selama ini orang tua jalankan namun anak juga akan menyebrangkan orang tuanya dari neraka yang disebut Put seperti mana dijelaskan di atas.
Ada sebuah kutipan yang sangat berharga dan patut kita pelajari sebagai orang tua serta sebagai seorang anak.
Ada sebuah kutipan yang sangat berharga dan patut kita pelajari sebagai orang tua serta sebagai seorang anak.
”Seluruh hutan terbakar hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu pula seorang anak yang kuputra (buruk karakternya), menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh keluarga” (Canakya Nitisastra II.15).
“Seluruh hutan menjadi harum baunya, karena terdapat sebuah pohon yang berbunga indah dan harum semerbak. Demikian pula halnya bila dalam keluarga terdapat putra yang Suputra”
(Canakya Nitisastra II.16).
“Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai sifat-sifat yang baik”.
(Nitisastra IV.6).
(Canakya Nitisastra II.16).
“Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai sifat-sifat yang baik”.
(Nitisastra IV.6).
Dalam kutipan-kutipan tersebut kita sebagai orang tua diingatkan dan diajarkan betapa pentingnya seorang anak, karena baik buruknya kita dalam mendidik seorang anak akan membentuk karakter anak dalam keluarga dan menentukan citra keluarga dalam masyarakat. Selain anak mendapatkan pendidikan dalam lingkungan sekolah, orang tua juga berperan dalam mendidik dan membentuk karakter anak. Jika anak dalam keuarga di didik dengan kasih sayang dan pendidikan menurut ajaran agama sejak dini swaha anak akan memiliki karakter yang baik dan bila sebaliknya, bila orang tua yang cuek atau tidak memperdulikan atau membiarkan anak berkembang sendiri tanpa ada bimbingan orang tua maka anaknya akan membentuk karakter yang tidak baik, selain sekolah, orang tua, lingkungan pergaulan yang ada diluar rumah juga mempengaruhi perkembangan atau pembentukan karakter seorang anak. Namun sebagai orang tua bukan berarti kita harus mengurung anak hanya dirumah saja dan tidak memberikan kebebasan bagi anak, melaikan memberikan kebebasan namun dalam pantauan atau bimbingan dari orang tua.
Dalam sistem pendidikan Veda, ketika seorang anak kehilangan cinta kasih dari kedua orang tuanya, maka pendidikan di sekolah (dalam pengertian pendidikan Gurukula) menggantikan kasih sayang orang tua tersebut kepadanya. Dalam pendidikan Gurukula ini seorang anak dipisahkan dari keluarga. Kata “Kula” dalam kaitannya dengan Gurukula berimplikasi bahwa seorang anak tidak sepenuhnya dijauhkan dari atmosfir keluarga. Ia kini berubah dari kehidupan dalam keluarga kecil ke dalam keluarga besar. Dalam sistem pendidikan Veda, seorang anak tidak dipisahkan dengan susana keluarga, ia hanya ditransplatasikan dari keluarga kecil yakni orang tua ke keluarga besar, yakni keluarga Guru.
Seorang anak juga harus mengerti bagaimana dan apa yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya hanya semata-mata agar anaknya lebih baik, berguna bagi keluarga dan masyarakat serta bekal anak di masa depannya untuk menempu hidup yang setiap hari akan lebih keras. Jadi seorang anak harus berbakti kepada orang tua, dimanpun dan kapanpun dia berada harus bertidak hati-hati dan dipikirkan terlebih dahulu baik dan buruknya jika akan melakukan sesuatu karena anak menentukan citra keluarganya.
Berdasarkan penjelasan diatas, hal utama yang harus diajarkan atau ditanamkan kepada anak sejak dini adalah moral dan budi pekerti. Budi pekerti dalam sansekerta terdiri dari “Budhi” dan “Pekerti” , Budhi yang berarti pengetahuan, sedangkan pekerti atau pravriti yang berarti perilaku. Dalam bahasa Indonesia kata budhi dan pekerti disatukan dan memiliki satu pengertian yang tidak terpisahkan, yaitu sebagai perilaku yang baik.
Bagi umat Hindu, hidup adalah sebuah perjalanan yang melewati 16 kejadian penting (tonggak sejarah) yang dapat diidentifikasikan atau siasumsikan sebagai tangga menuju tahapan perkembangan jasmani dan emosional. Setiap tahapan yang dilalui dilaksanakan upacara suci, ritual yang disebut “samskara”. Kata “samskara” berarti membersihkan, menyucikan sesuatu objek, menjernihkannya untuk menuju tahapan yang lebih tinggi. 16 macam upacara Samskàra itu, yang terdiri dari:
Dalam sistem pendidikan Veda, ketika seorang anak kehilangan cinta kasih dari kedua orang tuanya, maka pendidikan di sekolah (dalam pengertian pendidikan Gurukula) menggantikan kasih sayang orang tua tersebut kepadanya. Dalam pendidikan Gurukula ini seorang anak dipisahkan dari keluarga. Kata “Kula” dalam kaitannya dengan Gurukula berimplikasi bahwa seorang anak tidak sepenuhnya dijauhkan dari atmosfir keluarga. Ia kini berubah dari kehidupan dalam keluarga kecil ke dalam keluarga besar. Dalam sistem pendidikan Veda, seorang anak tidak dipisahkan dengan susana keluarga, ia hanya ditransplatasikan dari keluarga kecil yakni orang tua ke keluarga besar, yakni keluarga Guru.
Seorang anak juga harus mengerti bagaimana dan apa yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya hanya semata-mata agar anaknya lebih baik, berguna bagi keluarga dan masyarakat serta bekal anak di masa depannya untuk menempu hidup yang setiap hari akan lebih keras. Jadi seorang anak harus berbakti kepada orang tua, dimanpun dan kapanpun dia berada harus bertidak hati-hati dan dipikirkan terlebih dahulu baik dan buruknya jika akan melakukan sesuatu karena anak menentukan citra keluarganya.
Berdasarkan penjelasan diatas, hal utama yang harus diajarkan atau ditanamkan kepada anak sejak dini adalah moral dan budi pekerti. Budi pekerti dalam sansekerta terdiri dari “Budhi” dan “Pekerti” , Budhi yang berarti pengetahuan, sedangkan pekerti atau pravriti yang berarti perilaku. Dalam bahasa Indonesia kata budhi dan pekerti disatukan dan memiliki satu pengertian yang tidak terpisahkan, yaitu sebagai perilaku yang baik.
Bagi umat Hindu, hidup adalah sebuah perjalanan yang melewati 16 kejadian penting (tonggak sejarah) yang dapat diidentifikasikan atau siasumsikan sebagai tangga menuju tahapan perkembangan jasmani dan emosional. Setiap tahapan yang dilalui dilaksanakan upacara suci, ritual yang disebut “samskara”. Kata “samskara” berarti membersihkan, menyucikan sesuatu objek, menjernihkannya untuk menuju tahapan yang lebih tinggi. 16 macam upacara Samskàra itu, yang terdiri dari:
- Garbhadhana (konsepsi)
- Pumsavana (kehamilan berumur 3 bulan)
- Simantonnayana (memberikan perlindungan ketika bayi berumur 4-6 bulan dalam kandungan
- Jàtakarma (upacara saat kelahiran bayi)
- Nàmakarana (upacara pemberian nama saat bayi berumur 11 hari atau pada hari yang baik setelah hari kelahiran)
- Niskramana (membawa bayi ke luar rumah setelah berumur 4 bulan)
- Annaprasana (upacara memberi makanan pada usia 6-7 bulan)
- Chudakarma (upacara pemotongan rambut pertama setelah bayi berumur 1-3 tahun)
- Karnavedha (upacara tindik daun telinga setelah bayi berumur 3 tahun)
- Upanayana (upacara saat memasuki sekolah, umur 6-8 tahun).
- Vedàrambha (upacara mulai belajar kitab suci Veda)
- Samavartana (upacara menyelesaikan pendidikan, usia sekitar 24 tahun)
- Vivàha (upacara perkawinan, sudah melepaskan diri sebagai Brahmacàri, kini memasuki masa Gåhastha)
- Vanaprastha (upacara memasuki usia pensiun dan memandang dunia sebagai keluarga sendiri)
- Sannyàsa (upacara penyucian diri untuk melepaskan diri dari ikatan duniawi)
- Antyesti (upacara kematian/Bhupendra, 2001: 3, Rajbali, 1991: 23).
Pendidikan budhi pekerti bagi anak-anak dalam keluarga kiranya dapat menjadikan ajaran moral, dalam Kitab Bhagavad sebagai pedoman. Adapun sifat-sifat yang harus ditanamkan dan cara penanamannya adalah sebagai berikut:
- Abhyasa, yang mengandung arti melatih diri, membiasakan diri terhadap hal-hal yang baik (Bhagavad Gītā VI-35; VIII-8; XII.9-10). Anak harus sejak dini diajarkan melatih, membiasakan diri terhadap hal-hal yang baik dengan cara orang tua mampu menjadi tauladan yang baik bagi anak-anaknya dengan mempraktekkan perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Anak sejak dini sudah diajarkan untuk melakukan sembahyang dan mengucapkan nama suci Hyang Widi secara teratur, Misalnya anak harus dibiasakan mengucapkan Mantram atau doa sehari-hari.
- Tyaga, mengandung arti tulus ikhlas (Bhagavad Gītā XVIII.3-4, 10) yakni ikhlas tanpa beban ketika menghadapi sesuatu. Sikap abhyasa dan sikap tyaga keduanya dapat dibandingkan seperti “maarkata nyaya” yaitu sikap anak kera, dan dengan ”marjara nyaya”, sikap anak kucing. Yang pertama berpegang erat-erat (seperti anak kera memegang erat-erat induknya saat ia dibawa kemana saja) dan melaksanakan ajaran agama sebaik-baiknya (bhakti), sedangkan yang kedua adalah seperti kepasrahan seekor anak kucing yang dicengkeram oleh mulut induknya saat berpindah-pindah. Seperti itu pulalah hendaknya kita pasrah dan menyerahkan diri kepada Tuhan.
- Santosa, yang artinya puas menerima keadaan (santhusta), yakni dapat mensyukuri karunia-Nya. Seseorang tidak perlu terlalu menyesali diri, tetapi harus tetap optimis dalam menjalankan tugas kewajibannya. Kitab Weda menyatakan, tidak ada kegagalan bagi orang yang tekun berusaha.
- Sthitaprajnya, yakni teguh dalam menghadapi tantangan, gelombang suka dan duka (Bhagavad Gītā II-54) Dalam menghadapi berbagai cobaan, hendaknya orang tetap berpegang teguh pada dharma.
Demikianlah pendidikan anak menurut ajaran agama hindu, dimana anak merupakan jembatan bagi orang tua untuk menuju sorga, anak juga menentukan citra dari sebuah keluarga, sehingga kewajiban bagi orang tua untuk menanamkan pendidikan budi pekerti dan agama kepada anak sejak dini untuk membentuk karakter anak.
0 komentar:
Posting Komentar